Oleh: Renol F. Asdi, S.Pd, M.Pd.T (Pemerhati Sosial dan Pembangunan Daerah)
POLITIKSUMBAR- Kabupaten Lima Puluh Kota adalah potret Indonesia kecil yang kaya akan sumber daya alam dan budaya. Dari hamparan sawah subur di Guguak dan Payakumbuh, hingga panorama megah Lembah Harau dan Air Terjun Sarasah di Harau, kabupaten ini memiliki segalanya untuk tumbuh sebagai daerah yang mandiri dan berdaya saing. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa potensi tersebut belum sepenuhnya berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Sejak tahun 2021, Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota telah menetapkan arah pembangunan melalui visi: “Mewujudkan Lima Puluh Kota yang Madani, Beradat dan Berbudaya dalam kerangka Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).” Ini adalah visi yang berakar kuat pada filosofi lokal Minangkabau dan menjadi harapan besar untuk membawa perubahan nyata.
Namun, visi sebesar itu harus diiringi dengan langkah-langkah konkrit. Visi tidak boleh berhenti di atas kertas. Ia harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat — terutama mereka yang berada di nagari-nagari.
Nagari: Pusat Identitas, Juga Pusat Pembangunan
Nagari dalam konteks Minangkabau bukan hanya satuan administratif, tetapi juga identitas kultural dan sosial. Di Kabupaten Lima Puluh Kota, terdapat 79 nagari yang tersebar di 13 kecamatan. Sayangnya, potensi nagari sebagai pusat penggerak ekonomi dan budaya belum dimanfaatkan secara maksimal.
Saat ini, banyak BUMNag yang masih berjalan di tempat atau belum memiliki unit usaha yang berdampak langsung ke masyarakat. Beberapa di antaranya masih menghadapi tantangan klasik seperti manajemen yang lemah, keterbatasan modal, hingga belum adanya pendampingan yang konsisten dari pemerintah daerah.
Padahal, jika diberdayakan secara serius, nagari bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Misalnya, di Nagari Sarilamak, potensi wisata bisa dikembangkan bersanding dengan pengembangan UMKM. Atau di Nagari Taeh Baruah, yang memiliki tradisi seni dan budaya kuat, dapat menjadi pusat ekonomi kreatif dan destinasi wisata budaya.
Pertanian dan Pariwisata: Dua Pilar Ekonomi yang Perlu Disinergikan
Mayoritas masyarakat Lima Puluh Kota bekerja di sektor pertanian. Namun, sektor ini masih dihadapkan pada berbagai tantangan: harga jual yang fluktuatif, ketergantungan pada tengkulak, serta minimnya akses terhadap teknologi modern.
Sementara itu, sektor pariwisata yang sangat potensial juga belum tergarap optimal. Lembah Harau misalnya — meskipun dikenal luas sebagai ikon wisata Sumbar, pengelolaan fasilitas masih belum standar nasional. Belum ada sistem terpadu untuk tiket, parkir, homestay, hingga suvenir. Padahal, di daerah lain seperti Banyuwangi atau Yogyakarta, model wisata berbasis masyarakat terbukti mampu menggerakkan ekonomi lokal secara signifikan.
Bayangkan jika sektor pertanian dan pariwisata disinergikan. Petani bisa menjual produk hasil panen mereka langsung ke pengunjung wisata. UMKM kuliner lokal bisa berkembang pesat karena adanya arus wisatawan. Inilah integrasi sektor yang semestinya mulai dirancang oleh pemerintah daerah.
Pelayanan Publik Harus Masuk Sampai ke Nagari
Pelayanan publik juga menjadi sorotan penting. Selama ini, masyarakat di nagari-nagari pelosok masih harus menempuh jarak yang jauh hanya untuk mengurus dokumen administrasi. Di era digital ini, seharusnya layanan publik sudah bisa diakses secara online dan terintegrasi dengan sistem di tingkat kabupaten.
Salah satu langkah strategis adalah membangun platform digital pelayanan nagari. Mulai dari surat menyurat, pelayanan kependudukan, hingga pengaduan masyarakat, bisa diakses lewat aplikasi berbasis Android. Langkah seperti ini tidak hanya memudahkan warga, tapi juga menciptakan transparansi dan efisiensi dalam birokrasi.
Tantangan dan Peluang: Kolaborasi Jadi Kunci
Tentu, tidak semua hal bisa dilakukan secara instan. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi — mulai dari keterbatasan anggaran, sumber daya manusia, hingga koordinasi antarinstansi. Namun tantangan itu bukan alasan untuk tidak bergerak.
Pemerintah daerah perlu menggandeng berbagai pihak: perguruan tinggi, komunitas lokal, diaspora Lima Puluh Kota di perantauan, hingga sektor swasta. Dengan kolaborasi, pembangunan bisa lebih cepat dan tepat sasaran. Banyak putra daerah yang punya kemampuan dan kemauan untuk pulang kampung membangun nagari — mereka hanya butuh ruang dan kepercayaan.
Kesimpulan: Visi Madani Harus Menyentuh Rakyat
Visi besar tanpa realisasi hanya akan menjadi utopia. Jika Lima Puluh Kota ingin menjadi daerah yang madani —berperadaban, sejahtera, dan bermartabat — maka arah pembangunan harus dimulai dari yang paling dasar: nagari dan warganya.
Investasi pada BUMNag, modernisasi pertanian, penguatan pariwisata lokal, dan pelayanan publik yang bersih serta digital adalah langkah awal yang bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dengan melibatkan rakyat, mendengarkan suara nagari, dan membangun dari bawah, Lima Puluh Kota bisa menjadi contoh kabupaten yang tumbuh tanpa kehilangan jati diri. Daerah yang tidak hanya besar karena sejarah dan potensi, tetapi juga karena keberhasilan dan kesejahteraan rakyatnya.