Oleh: Renol F. Asdi, S.Pd, M.Pd
POLITIKSUMBAR - Kisruh antara Bupati Kabupaten Limapuluh Kota dan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait Pokok Pikiran (Pokir) yang dinilai tidak mengakomodasi Kecamatan Situjuah Limo Nagari dan Kecamatan Luak telah menarik perhatian publik dan memicu perdebatan luas. Dalam konteks politik lokal, isu ini menyentuh titik krusial: keadilan pembangunan, etika komunikasi politik, dan kedewasaan kelembagaan.
Dalam laporan media seperti sumbarkita.id dan liputansumbar.com (April 2025), disebutkan bahwa Pokir dari Daerah Pemilihan (Dapil) 3 yang meliputi kedua kecamatan tersebut tidak tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Limapuluh Kota tahun 2025. Ketua Fraksi NasDem, Benni Okva Dela, menilai hal ini sebagai bentuk diskriminasi politik dan pelecehan terhadap marwah DPRD, apalagi kedua kecamatan itu merupakan basis dukungan kuat bagi Bupati H. Safni Sikumbang saat Pilkada.
Sebaliknya, Fraksi Golkar memberikan klarifikasi berbeda. Sekretaris Fraksi Golkar, M. Fajar Rillah Vesky, menyatakan bahwa tidak ada penghapusan Pokir oleh bupati. Menurutnya, absennya Pokir dari dua kecamatan tersebut disebabkan oleh tidak adanya legislator dari Situjuah yang duduk di DPRD periode sebelumnya, sehingga aspirasi masyarakat setempat tidak terwakili dalam Kamus Pokir DPRD.
Sistem perencanaan pembangunan daerah telah diatur secara tegas dalam perundang-undangan. Pokir merupakan hasil serapan aspirasi masyarakat yang dikumpulkan melalui kegiatan reses dan harus dimasukkan ke dalam Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD). Pemerintah daerah memang wajib mempertimbangkan Pokir, namun tidak wajib mengakomodasinya secara menyeluruh. Pokir tetap harus disesuaikan dengan arah kebijakan pembangunan, kemampuan fiskal daerah, serta skala prioritas.
Permendagri No. 86 Tahun 2017 Pasal 78 menegaskan bahwa Pokir bersifat aspiratif dan selektif, bukan instruktif. Artinya, kepala daerah memiliki kewenangan untuk menyaring usulan berdasarkan relevansi dan prioritas pembangunan. Hanya Pokir yang masuk ke dalam SIPD secara resmi dan diverifikasi oleh Bappeda serta TAPD yang dapat dipertimbangkan dalam penyusunan RKPD. Jika usulan dari Kecamatan Situjuah dan Luak tidak pernah masuk ke SIPD, maka wajar jika akhirnya tidak tercantum dalam dokumen perencanaan.
Dari sudut pandang ini, absennya Pokir dari dua kecamatan justru menyoroti pentingnya disiplin terhadap mekanisme formal dalam perencanaan pembangunan. Menyalahkan kepala daerah tanpa menelusuri aspek prosedural merupakan bentuk ketidakadilan naratif.
Tindakan Bupati Limapuluh Kota menyusun RKPD berdasarkan data teknokratik, RPJMD, serta input resmi dari SIPD dapat dibenarkan secara hukum dan administratif. Oleh karena itu, menyebut ketiadaan Pokir sebagai diskriminasi politik merupakan penyederhanaan yang keliru atas masalah yang kompleks.
Etika politik menuntut anggota DPRD untuk bersikap dewasa, profesional, dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi representasi dan pengawasan. Penyampaian kritik melalui media tanpa menggunakan forum resmi seperti Badan Anggaran, rapat paripurna, atau konsultasi bersama eksekutif, hanya akan melemahkan integritas kelembagaan DPRD itu sendiri.
Kritik terhadap eksekutif adalah hak konstitusional DPRD. Namun, kritik yang disampaikan tanpa bukti sistemik, dan tidak melalui saluran resmi, berisiko mencoreng citra DPRD serta menunjukkan rendahnya kapasitas etikopolitik. Dalam hal ini, pendekatan reaktif yang berbasis pada kepentingan sektoral hanya akan memperkeruh suasana dan mengaburkan tujuan utama dari perencanaan pembangunan.
Jika memang ketidakterwakilan legislator dari suatu wilayah menjadi kendala masuknya Pokir, maka solusi seharusnya terletak pada perbaikan sistem komunikasi internal dan peningkatan partisipasi publik melalui Musrenbang dan forum-forum aspiratif lainnya. Tidak semua aspirasi harus bergantung pada representasi politik semata.
DPRD sebagai lembaga representatif harus mampu menjaga objektivitas dan menghindari sikap partisan. Dalam hal ini, etika politik menjadi fondasi penting bagi kualitas demokrasi lokal.
Penyelesaian polemik Pokir ini membutuhkan ruang dialog terbuka antara DPRD dan Pemerintah Kabupaten. Revisi masih memungkinkan melalui APBD Perubahan, asalkan prosedur formal diikuti. DPRD harus memastikan bahwa seluruh aspirasi masyarakat masuk ke dalam sistem secara tepat waktu dan terstruktur melalui SIPD.
Ke depan, penyusunan Pokir perlu dibenahi agar lebih inklusif dan terintegrasi. Peran Bappeda sebagai penghubung antara aspirasi legislatif dan perencanaan teknokratik harus diperkuat. Begitu juga dengan partisipasi masyarakat nagari melalui Musrenbang, yang perlu ditingkatkan agar pembangunan tidak hanya ditentukan oleh dinamika politik semata.
Kisruh Pokir di Limapuluh Kota adalah pelajaran berharga bagi semua pihak. Pemerintah daerah harus tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan pembangunan, sementara DPRD dituntut menunjukkan kedewasaan politik dan komitmen terhadap tata kelola pemerintahan yang tertib dan profesional. Komunikasi tanpa prosedur, kritik tanpa data, dan ketidaktertiban dalam sistem informasi hanya akan menghambat pembangunan yang seharusnya menjadi hak seluruh warga.
Dengan semangat kemitraan dan etika politik yang sehat, pembangunan yang adil dan merata bukan hanya sebuah harapan, melainkan sebuah keniscayaan.