POLITIKSUMBAR - Kejaksaan Negeri Padang, Sumatra Barat (Sumbar) secara resmi menetapkan seorang oknum pegawai bank BUMN di kota tersebut yang berinisial DK sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pada Kamis (17/4).
"Penetapan tersangka terhadap DK dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup pada tahap penyidikan," ujar Kepala Kejari Padang, Aliansyah, dalam konferensi pers di Padang.
Aliansyah menjelaskan bahwa tersangka yang berjenis kelamin laki-laki ini dijerat dalam kasus dugaan korupsi terkait penyalahgunaan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) periode 2022-2023.
Tersangka dijerat dengan pasal 2 ayat (1), Juncto pasal 3, Jo pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ia mengungkapkan bahwa setelah ditetapkan sebagai tersangka, DK yang menjabat sebagai Mantri di bank BUMN tersebut langsung ditahan oleh tim penyidik.
Menurutnya, DK akan ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Padang selama 20 hari ke depan sambil menunggu kelengkapan berkas perkara.
Aliansyah menambahkan, dalam perkara ini, DK berperan sebagai pihak yang memiliki peran dominan dalam pengajuan dana KUR yang tidak sesuai prosedur. Dalam menjalankan aksinya, DK bekerja sama dengan seorang perempuan berinisial UA, yang telah ditetapkan sebagai tersangka pekan lalu.
Mereka diduga bersekongkol untuk melakukan penyalahgunaan prosedur, dengan skema di mana UA berperan sebagai calo yang merekrut warga sebagai calon debitur.
Tersangka UA awalnya mencari calon nasabah di wilayah Simpang Haru, Padang, kemudian mengumpulkan dokumen identitas seperti KTP dan KK. Setelah itu, UA menyerahkan data tersebut kepada DK, yang memiliki kewenangan untuk menentukan apakah pengajuan tersebut diterima atau tidak.
"Tersangka memiliki otoritas untuk melakukan verifikasi lapangan, menilai kelayakan usaha, serta merekomendasikan pencairan dana," jelas Aliansyah.
Namun, alih-alih mengikuti prosedur yang berlaku, DK malah memanfaatkan posisinya sebagai pejabat bank untuk menyalahgunakan wewenang. DK diduga aktif memfasilitasi pencairan dana KUR kepada debitur yang tidak memenuhi syarat dan bahkan terlibat dalam manipulasi data bersama UA.
"DK secara sadar meloloskan 51 pengajuan kredit KUR yang fiktif, karena para pemohon tidak memiliki usaha yang sah," tegasnya.
Dari hasil penyidikan, terungkap bahwa seluruh data usaha, termasuk foto lokasi dan izin usaha, disusun secara fiktif dengan persetujuan kedua tersangka. Setelah dana dicairkan, yang berkisar antara Rp30 juta hingga Rp100 juta per debitur, dana tersebut tidak digunakan sesuai ketentuan.
"Dana yang sudah cair itu dikuasai oleh tersangka UA, sementara DK juga mendapatkan keuntungan dari situ," ungkap Aliansyah.
Penyidik juga menemukan bahwa kedua tersangka berusaha menutupi perbuatannya dengan membayar cicilan secara bertahap melalui UA. Namun, skema tersebut mulai bermasalah karena sejak Januari hingga Juli 2024, terjadi kemacetan pembayaran (kolektibilitas 5) yang menyebabkan 51 pinjaman tersebut akhirnya ditutup.
Akibat perbuatan kedua tersangka, negara mengalami kerugian keuangan yang signifikan, dengan total mencapai Rp1,9 miliar lebih pada salah satu bank BUMN.
Dalam perkara ini, DK bertindak tidak hanya sebagai pembantu, tetapi juga sebagai penggerak utama yang memuluskan seluruh proses, serta menyalahgunakan kewenangan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain secara ilegal.
Padahal, sejatinya program KUR hadir sebagai program pemerintah untuk mendukung pembiayaan bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).